Nikola Jokic – Denver Nuggets berhasil mengamankan kemenangan penting di Gim 3 melawan lawan berat mereka di playoff NBA. Namun, di tengah sorak-sorai pendukung dan statistik kemenangan yang mencolok, ada satu ekspresi yang mencolok di lapangan: wajah Nikola Jokic. Bukan senyum lebar atau gestur bangga—justru sebaliknya. Sang MVP malah terlihat frustrasi, dingin, dan seolah membawa beban yang tak tersampaikan. Ada yang tak beres, dan Jokic tak ragu menunjukkannya.
Statistik Cemerlang, Tapi Ada yang Mengganjal
Dalam catatan resmi, Jokic mencetak double-double dengan 29 poin dan 13 rebound, plus 8 assist yang nyaris membawa namanya kembali ke catatan triple-double. Tapi, bagi pemain dengan standar seketat Jokic, angka-angka itu hanyalah angka. Ia tampak kesal karena merasa performanya masih jauh dari kata optimal. Beberapa turn over di momen krusial dan komunikasi yang kurang lancar dengan rekan satu tim seolah mengusik konsentrasi depo 10k sepanjang pertandingan.
Kepada media, Jokic mengaku, “Kami memang menang, tapi saya pribadi merasa tidak memainkan permainan terbaik saya. Saya merasa buruk.” Pernyataan itu menampar siapa pun yang mengira kemenangan otomatis berarti kepuasan.
Mental Juara yang Tak Mau Setengah-Setengah
Perasaan tidak puas Jokic menunjukkan mental seorang juara sejati. Ia tidak hanya ingin menang—ia ingin menang dengan cara yang benar, dengan dominasi penuh, tanpa cela. Ini bukan soal perfeksionisme kosong, tapi standar tinggi yang dia pegang demi membawa Nuggets ke level yang lebih brutal di kancah NBA.
Jokic bukan tipe pemain yang puas hanya karena papan skor berpihak padanya. Ia membaca permainan dalam dimensi berbeda, menganalisis detil-detil yang bahkan luput dari mata pengamat biasa. Ketika transisi lambat atau defense lemah dari rekan-rekannya muncul, Jokic menangkapnya dengan cepat dan membawanya dalam refleksi internal, yang kadang justru membuatnya terlihat murung setelah menang.
Tekanan dari Lawan, Tekanan dari Diri Sendiri
Lawannya di Gim 3 bukan tim lemah. Mereka memberikan tekanan fisik yang luar biasa, dengan penjagaan ketat yang membuat Jokic harus bekerja dua kali lebih keras untuk setiap poin. Tapi Jokic bukan sekadar korban tekanan luar—tekanan terbesar justru berasal dari dalam dirinya sendiri. Ia tahu, di panggung playoff, setiap gim adalah pertarungan harga diri. Dan ia tak mau sedikit pun kelengahan memberi peluang pada lawan untuk membalikkan momentum.
Ketika ditanya soal kondisi tim mahjong slot, Jokic tetap menunjukkan kepemimpinan khasnya. Ia memuji performa clutch rekan-rekannya di kuarter empat, tapi tetap menyisipkan kritik bahwa mereka harus lebih konsisten di dua kuarter awal. Ia menyebut timnya “bermain terlalu santai di awal pertandingan,” sebuah kalimat yang menunjukkan bahwa baginya, dominasi harus di bangun sejak peluit pertama.
Beban MVP Bukan Sekadar Gelar
Sebagai MVP NBA dua kali, ekspektasi terhadap Jokic selalu berada di titik maksimal. Tapi justru dirinya yang paling kejam dalam menilai performa sendiri. Gelar MVP bukan kebanggaan kosong baginya, tapi tanggung jawab untuk menunjukkan kualitas kelas dunia di setiap momen, termasuk ketika tim menang sekalipun.
Ketika pemain lain memilih berselebrasi, Jokic malah merenung. Ketika wartawan menyanjung statistiknya, dia justru mengingat satu tembakan mudah yang meleset. Itu cara Jokic menantang dirinya sendiri: tidak terlena, tidak cepat puas, dan selalu menaruh standar di atas rata-rata.
Kemenangan Nuggets di Gim 3 mungkin membuat fans bersorak, tapi bagi Nikola Jokic, masih banyak PR yang harus di selesaikan. Bagi dia, permainan indah bukan hanya soal angka, tapi juga harmoni, presisi, dan kontrol mutlak. Dan jika itu belum tercapai, maka bahkan kemenangan pun terasa hambar.